Valhalla (3): Jejak


Valhalla (3): Jejak - aliyamuch.com
A novel, Valhalla by Aliya

Bau tembaga gosong menguar di sekelilingnya. Cahaya terang sedikit demi sedikit menyelinap dari celah-celah. Tanah yang sebelumnya lembek kini kian mengeras. Suara-suara aneh mulai terdengar, samar-samar di kejauhan.

Sosok itu merasa lega.

Perjalanan yang sangat panjang dan memilukan telah berhasil dilaluinya. Ia harus rela meninggalkan dunia yang ia cintai dan meninggalkan adiknya yang tergeletak tak berdaya di bawah sana. Namun sosok itu memilih untuk tak menyerah dan bergerak maju.

Sekarang ia di sini, di atas. Dunia yang sudah lama ia ingin lihat.

Raungan di kejauhan sempat membuatnya ragu. Ia memicingkan mata mengintip dari celah di sisi kanannya. Ia masih juga ragu. Takut dengan reaksi yang akan ia dapat. Namun berdiam diri di sini pun bukan solusi bagus. Ia sudah lapar dan lelah sekali.

Apa ada yang akan percaya denganku? Batinnya.

***

Suasana kota itu terlihat lengang dengan rumah jarang-jarang di kejuhan sana. Asap yang mengepul dari cerobong-cerobong menggumpal hitam ditiup angin. Tak ada satu pun pepohonan yang berjajar di pinggir jalan atau sekadar semak-semak pun tak tampak. Kota itu begitu tandus.

Sebuah kota yang jauh sekali dari yang namanya kota hijau. Aroma udara di sekelilingnya tidak enak dihirup. Kendaran yang lalu lalang didominasi kendaran berat. Hanya sedikit saja mobil pribadi. Bahkan angkutan umum pun tidak ada.

Memang demikian adanya, tidak ada yang bisa diharapkan dari kota pertambangan seperti ini. Kota Birana terletak di Selatan pulau Simuli, sebuah pulau di Tenggara. Aktivitas pertambangan di sana sudah beroperasi puluhan tahun. Orang-orang sering menyebutnya kota minyak.

Daerah Selatan memang tidak dihuni oleh masyarakat umum. Di sana hanya ada orang-orang yang bekerja di pertambangan saja. Lokasi kota ini tidak terlalu jauh dari pusat pulau.

Berbeda dengan kota Biskha, kota utama atau kota tengah yang berada di tengah pulau Simuli, di mana terdapat pusat pemerintahan dan administrasi untuk seluruh pulau. Di sana kehidupan berdenyut. Sebagai kota utama, Biskha pastinya memiliki sekolah, rumah sakit, universitas, supermarket, dan taman-taman kota. Walau demikian taman-taman itu bukanlah taman hijau yang besar, hanya sepetak lahan berisi pepohonan sebagai paru-paru kota. Tapi lumayan membuat kota Biskha terlihat asri.

***

Filly masih berada di persembunyiannya, di mulut lubang itu. Sebuah lubang yang tampaknya bekas penggalian untuk kepentingan pertambangan. Tubuhnya sudah tak berdaya. Dalam hatinya ia bertekad harus segera bertemu dengan orang itu. Seseorang yang dahulu kala pernah ia temui dengan tidak sengaja.

***

"Papa sudah kangen dengan anak itu. Sudah tiga bulan kita pergi," kata seorang laki-laki paruh baya sambil melirik perempuan anggun di sebelahnya.

"Iya, sabar saja Mama pun kangen. Apalagi Mama, ibunya..." jawabnya dengan helaan napas panjang.

Mobil yang mereka tumpangi bergerak cepat di jalanan berlumpur. Sepertinya kemarin hujan lebat. Pak sopir menatap lurus ke depan, berusaha konsentrasi. Jalanan berlumpur seperti ini memamng rawan tergelincir, apalagi lumpur di kota pertambangan ini lumpur merah yang pekat.

"Pak, tolong dipercepat ya, saya sudah hampir terlambat."

Pak sopir yang mendengar itu berusaha menaikan kecepatan. Padahal ini sudah cepat, pikirnya. Tapi apa boleh buat ia harus melaksanakan perintah atasannya.

Perempuan anggun di belakangnya mengernyit. "Ini sudah cepat, Pa, mau cepat seperti apalagi?!" Tangannya yang sedari tadi berada di pangkuan lantas dengan sigap memegang pegangan di atas pintu mobil. "Haduh Pak Sofyan sudah turunkan kecepatannya, jangan pedulikan kata-kata suami saya," tambahnya dengan nada formal.

"B-baik, Bu."

Jam menunjukan hampir pukul delapan pagi. Rapat seyogianya dilaksanakan tepat pukul delapan. Namun pasangan suami istri itu belum muncul di tempat.

Sejak 20 tahun mengawali karir sebagai insinyur pertambangan, Augustus Rikala dan isterinya, Norma Venusa menjadi sepasang suami isteri yang sibuk sejagat. Mau bagaimana lagi pekerjaan yang mereka pikul tidaklah mudah dan menuntut keduanya untuk sering bepergian jauh ke luar pulau meninggalkan anak semata wayangnya, Andromeda Palmha.

"Huh ... lega rasanya ya, Ma rapat sudah beres dan kita tinggal liburan." Augustus melirik isterinya yang sedari tadi menatap jendela dengan pandangan kosong.

"Ma?" ucap Augustus heran bercampur khawatir. "Ma, ada apa?" Ia berjalan menghampiri Norma dan menyentuh pundak isterinya.

"Hmm ... beberapa hari terakhir ini, aku memimpikan Filly," jawabnya tanpa berpaling.

"Apa?!"

***

Kejadian itu terjadi hampir 20 tahun silam. Tatkala Augustus dan Norma masih bertunangan dan bekerja sebagai pengawas lapangan pertambangan. Waktu itu Norma bertugas sebagai asisten Augustus dan mereka sering berada di area pertambangan untuk mengontrol kinerja para penggali.

"Masih berlama lagi, Pak?" tanya Augustus kepada salah satu kepala penggalian minyak di sektor A. Hari ini memang terasa lambat bergulir. Augustus merasa para penggali sudah kelelahan di bawah terik mentari yang tidak ada aling-aling. Tidak ada satu pun pepohonan adalah salah satu penyebab udara di sini terasa membakar.

"Ini hampir selesai, Pak ... tapi entah mengapa kedalaman lubang di sini sedikit aneh," ujarnya.

"Maksudnya?" Augustus mencoba mendekati lubang penggalian. Ia mendekatkan badannya mengintip ke bagian lubang yang menganga. Tampak sama saja, pikirnya.

"Lubang di sini seperti ada jejak-jejak binatang, Pak," seloroh salah satu pegawainya.

"Ah binatang apa?!" Mana ada binatang di sini," sergah Augustus sambil mengamati tanah lembek di sekitar lubang yang nampak mempunyai tekstur.

"Coba cek sebelah sini, Pak ada jejak kaki atau apa tapi sepertinya hanya dot bagian belakang yang melesak."

"Ini seperti jejak manusia memakai sepatu berhak."

Semua pegawai di sekitar lubang berkerumun tak luput Augustus dan Norma, tunangannya. Mereka mengamati semua dot jejak yang ada di permukaan tanah merah lembek. Dan, semua sepakat memang itu adalah jejak karena ketika salah satu pegawai menyenter ke arah agak dalam lubang tampaklah jejak itu mengular ke dalam.

Norma yang sedari tadi pun sama-sama mengamati mencurigai sesuatu. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Entah seperti apa perasaannya namun ia merasa bahwa pemilik jejak itu benar adanya dan sedang berada di suatu tempat tidak terlalu jauh.

"Kita harus mencarinya," bisik Norma kepada Augustus yang dibalas dengan kerutan alisnya tanda tak paham dengan maksud Norma.

"Kita harus mencari di sekitar sini. Ayolah," ajak Norma menarik tangan tunangannya.

Walau masih kikuk Augustus mengikuti langkah Norma. Mereka lantas diam-diam bergegas berjalan menjauh, ke tempat yang ada timbunan-timbunan tanah bekas penggalian. Norma memimpin di depan. Dengan instingnya ia terus berjalan dan mengamati setiap gundukan tanah.

Ia tak paham apa atau siapa yang ia cari tapi menurut firasatnya jejak itu mempunyai tuan.


-a

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.