Valhalla (1): Ia akan Datang

Valhalla (1): Ia akan Datang - aliyamuch.com
A novel, Valhalla by Aliya

Hari menjelang malam ketika Mara dalam perjalanan pulang dari sekolah. Pelajaran tambahan dari pak Slamet, guru matematikanya membuatnya pulang sangat terlambat. Jalanan yang lengang menuju kosannya terlihat kelabu setelah hujan sepanjang siang.

Beban di punggung pun terasa semakin berat. Sesekali ia membetulkan tas di belakangnya agar tidak terlalu membebani sisi kanan tubuhnya. Ia merasa tak enak hati. Gelisah dan pikirannya kusut. Perasaan ini sebenarnya sudah dirasakannya semenjak pagi tadi tapi Mara berusaha menepisnya berulang kali dan menyibukan diri dengan mengobrol dengan Alet, teman sebangkunya.

"Perasaan ini terlalu cepat hadir," gumamnya. Ia mencoba mempercepat langkahnya tanpa menoleh kiri kanan.

Sudah setahun lebih Mara mengalami kejadian aneh. Seperti hidup dalam bayang-bayang. Ia takut. Takut dengan mimpi.

Padahal hari belum juga malam. Tapi perasaan ini?

"Hey! Melamun saja!" sergah seseorang.

Sontak ia kaget dan mendongak. Di hadapannya, Andro teman sekelasnya mengamati dengan heran.

"Oh eh, An," gagap Mara yang merasa aneh karena sejak tadi ia tak melihat ataupun mendengar seorang pun di sekitarnya.

"Kamu tidak apa-apa?" Andro bertanya masih dengan nada heran karena semakin dekat semakin jelas ia melihat wajah Mara yang pucat dan gugup.

"Aku oke, kok," jawab Mara cepat, masih merasa aneh dengan sosok Andro yang tiba-tiba ada di depannya.

"Ya udah kalo begitu ... mau aku antar? Kamu kelihatan sakit soalnya," tanya Andro penuh perhatian.

"Tidak usah kosanku sudah dekat, kok," jawab Mara dengan senyum tipis dan berusaha terlihat manis. "Makasih banyak, btw," dengan senyum lebih lebar yang dibalas Andro dengan tatapan menelisik.

"Serius?"

Gadis itu mengangguk cepat dan masih dengan senyuman selebar yang ia bisa.

"Oke deh kalau begitu. Aku duluan ya," ujar Andro sambil melambaikan tangan. Andro berjalan mendahului Mara. Jarak rumah Andro hanya 300 meter dari kosan Mara. Ia adalah teman sekelas Mara yang paling pintar plus ketua murid tertampan di kelas - ketua muridnya cuma satu. Ia tinggal di perumahan yang cukup mewah.

Kata orang-orang Andro termasuk keluarga kaya. Katanya juga orang tuanya bekerja di perusahaan minyak dan sering ekspedisi ke luar pulau untuk mencari tambang minyak baru. Ia hanya ditemani mbok Suri, asisten keluarganya. Maklum Andro anak tunggal dan keluarganya yang lain tidak tinggal di pulau ini. Semua itu Mara dengar dari orang-orang dan ibu kos yang kebetulan kenal dengan mbok Suri.

Tak terasa hampir sampai kosan. Perasaan Mara sedikit lega. Setidaknya ia bisa minum air hangat ketika sampai untuk menenangkan kegelisahannya, pikirnya.

Kosan Mara hanya kosan biasa walaupun kosannya itu dikelilingi perumahan yang bagus-bagus, Mara memang bukan dari keluarga berada. Ayahnya meninggal ketika ia masih berusia 11 tahun. Tak berapa lama ibunya pun meninggal karena sakit. Ia lalu dibesarkan oleh neneknya. Sejak SMA ia pindah ke pulau ini. Karena hanya di pulau inilah terdapat SMA. Pulaunya dulu hanya pulau kecil.

Sama halnya dengan Andro, Mara juga anak tunggal. Nenek Mara tinggal sendirian sebelumnya, kakek Mara meninggal puluhan tahun lalu. Sebenarnya ia teramat sayang kepada neneknya. Neneknya adalah satu-satunya keluarga yang ia punya. Tapi mau bagaimana lagi demi mimpi dan cita-cita gadis itu harus rela pergi jauh darinya. Hanya sementara. Mungkin!

Mara sudah sampai di depan pintu kosan. Keadaan di sekeliling sepi. Hari sudah mulai gelap. Cepat-cepat ia membuka resleting kecil di depan tasnya dan mengambil kunci dengan paksa. Sepertinya kuncinya tersangkut pulpen atau entah benda apa.

Pintu terbuka. Ia sedikit lega. Cepat-cepat gadis itu melempar tas ke atas kasur. Berjalan tergesa dan menyambar cangkir di meja belajar lalu menuangkan air ke dalamnya. Rasa haus sirna seketika. Walau rasa cemas itu masih tetap ada.

Kosan Mara cukup kecil. Isinya hanya kasur di sebelah kiri pintu, meja belajar di pojok. Dan sebuah lemari tempat semua benda, pakaian, buku-buku, termasuk piring. Tapi Mara memang tidak peduli semuanya. Tidak peduli dengan hal-hal materi. Baginya kosan sederhana ini sudah lebih dari cukup. Ia bisa belajar dengan tenang di sini.

Setelah ganti baju gadis itu semakin gugup. Perasaan itu ternyata belum reda. Malam sudah menyibakan tirainya. Ditambah hujan kembali turun. Suasana semakin dingin. Rasa dingin di punggungnya mulai terasa. Perasaan dingin itu adalah sebuah permulaan, seperti yang sudah-sudah.

Masih jam 7, pikirnya sambil mengambil hoodie dari paku di belakang pintu dan mengenakannya.

Apakah mereka akan kembali malam ini?

Pertanyaan itu sering ia lontarkan setiap malam menjelang. Gadis itu semakin takut. Sebenarnya ia pun tak tahu apa, siapa, atau kenapa semua ini bisa terjadi. Sesuatu yang selalu hadir di mimpinya. Apakah ini hanya sekadar bunga mimpi atau suatu pertanda? Mara tidak tahu. Ia hanya ingin semuanya barakhir atau paling tidak ia tahu alasan di balik semuanya. Agar ia tahu dengan pasti langkah apa yang akan ia ambil selanjutnya.

***

Masih mengendap-endap sosok itu berjalan menelusuri lorong gelap dan lembap. Sesekali dirinya menoleh ke belakang memastikan ia tak diikuti. Ia masih bingung sebenarnya apa ia harus kembali ke belakang atau terus maju? Sosok lain yang ia tinggalkan di belakang tidak bergerak sehingga ia harus mengambil keputusan, dan terus maju.

Suara desiran angin yang berputar di kepalanya seperti menjadi pertanda bahwa ia semakin dekat ke permukaan. Gugup. Takut. Tapi ia tak bisa menyerah. Kembali jauh ke dalam, ke sebuah negeri yang ia tinggalkan adalah kematian!

***

Pukul 10 malam Mara belum juga mengantuk. Sudah setengahnya lembaran-lembaran itu ia baca. Mara suka sekali dengan buku-buku filsafat. Seperti buku yang ia pegang, sebuah novel filsafat sebenarnya, karya Jostein Gaarder, Dunia Sophie. Entah sudah berapa kali ia membacanya. Salah satu novel yang tak pernah bosan ia baca sampai kapanpun. Baginya jenis novel seperti ini membuatnya lebih paham tentang hidup, manusia, dan semesta. Ia percaya bahwa kebijaksanaan adalah hal utama, bahkan lebih daripada kebaikan. Sebenarnya menjadi baik adalah kewajiban namun sering kali menjadi baik saja tidak cukup. Karena kebaikan terkadang mempunyai dua mata pedang yang berbeda.

Tepat di halaman 555 Mara merasakan angin dingin berhembus di belakangnya. Ia celingukan padahal sudah tahu gejalanya. Kemudian ia menatap ke jendela, yang pastinya tertutup. Dan sempat-sempatnya pula ia berpikir tentang kipas angin, yang sangat pasti ia tak memilikinya.

Kenapa ada angin masuk? Pertanyaan bodoh. Untuk mengurangi kekhawatiran cepat-cepat ia berpikir logis.

Ah mungkin karena aku terserap ke dalam novel ini. Walau jelas-jelas novel yang ia baca bukan novel horor, pun bukan novel tentang angin.

Nguuuung ... Nguuuuuung...

Tiba-tiba telinganya berdengung. Dengungan kecil namun lambat laun semakin memekakan. Mara mencoba menutup kedua telinganya sambil terpejam. Mencoba bernapas dalam dan membuangnya perlahan. Berharap dengungannya mereda. Benar, sesaat kemudian dengungan itu semakin menghilang. Tetapi menyisakan angin yang terasa penuh di dalam kepala.

Entahlah ... apa ini? Biasanya ia tidak pernah mengalaminya sebelumnya. Ini pertama kali. Setiap malam yang ia lalui sebelumnya ketika sesuatu itu terjadi tidak diawali dengungan. Ia hanya merasa dingin, gemetaran, dan seperti sekelilingnya akan tertelan ke dalam dirinya. Ah entahlah (lagi-lagi) ia tak paham.

Mara meletakan buku di meja belajar. Baru sadar perutnya lapar sekali. Sepulang dari sekolah tadi ia belum sempat makan. Ia memaksakan dirinya untuk bangun. Panggilan esensial ini tak bisa ia abaikan begitu saja.

"Huh tak ada makanan. Tadi lupa beli," gumamnya sedih sambil menutup kembali lemari serba gunanya. Paling mengerikan memang jika malam-malam perut keroncongan, di luar hujan, sudah larut malam, setengah mengantuk, dan dibayangi rasa takut.

"Ya sudahlah, tak mengapa lapar, tidurku pasti tidak akan pulas. Dan itu bagus, biar mereka tidak datang," gumamnya lagi sedikit lega yang dipaksakan. Perutnya semakin nyaring.

Gadis itu bersiap hendak tidur. Memakai baju hangat dua rangkap karena cuaca semakin dingin menusuk. Mungkin karena ini bulan dengan akhiran ber. Musimnya penghujan. Dinginnya semakin menjadi-jadi saja.

Tung tung tung...

Terdengar dari atas kosan.

"Aaaargh ... apa lagi!," protesnya. Frustasi.

Mungkin menjelang tengah malam Mara baru bisa terlelap. Dengkurannya halus. Di luar masih hujan. Diselingi petir menyambar dengan konstan. Mahluk itu semakin merayap ke atas. Masih gelap, pikirnya. Aku akan bebas.

Sementara itu bola mata Mara bergerak-gerak cepat. Mimpi itu datang. Sekali lagi.


-a

10 komentar:

  1. Sepertinya ini cerita misteri ya, Mbak. Sudah lama saya tidak menulis cerita fiksi. Omong-omong, gaya bertuturnya menarik

    BalasHapus
  2. Susunan kalimatnya bergema. Cuma alurnya seperti melompati dengan cepat sehingga saya sempat bingung menerka urutan kejadian.

    Latar cuaca hujan dan mendung, lalu dunia mimpi yang menakutkan. Serta peristiwa aneh. Itulah kesan yang saya tangkap. Tapi cerita ini bagian dari novel pasti panjang.

    Untuk kata lembab, yang tepat adalah lembap. Nanti diperbaiki. 👍

    BalasHapus
  3. Cerita horor atau misteri kah ini? yang jelas bacanya jadi penasaran.. pingin tau bagaimana kesudahannya walaupun pasti jalannya masih panjang

    BalasHapus
  4. Cerita misteri yaa...kereen bisa menulis cerita, saiyaah belum bisa mengayal menulis cerita. Tapii msh penasaran dengan jalan ceritanyaa, semangat melanjutkan tulisan yaaa...(gusti yeni)

    BalasHapus
  5. Sudah beberapa kali saya memegang buku berjudul Dunia Sophie, sejak awal 2000 namun tak pernah berhasil membacanya. Mara hebat. Dia masih SMA?

    Btw, bagus ceritanya, saya sampai tegang dan sesekali menahan napas ... ikut larut dalam monolog Mara.

    BalasHapus
  6. Cerita keren dan dalam banget kak, pas awal-awal Min Jesinnews ngira ini kisah horor nih, tapi pas di bagian novel, eh kaya bukan deh.
    Otw lanjut baca kisahnya di part 2 nih..

    BalasHapus
  7. saya membacanya penuh dengan penasaran, dan ini baru part 1, mungkin nanti kalau sudah ada lanjutannya saya jadi mulai paham jalan ceritanya seperti apa, ini begitu banyak terkaan. masih bertanya-tanya apa yang Mara takutkan

    BalasHapus
  8. Kisahnya sangat menarik karena penuturan dan deskripsi cerita yang sangat detail.

    Kekuatan kisah misteri ini menarik pembaca ikut larut seperti si tokoh utama.



    Valhalla totalnya berapa episode nih Mba?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Belum tahu, Mbak, sepertinya sambil jalan saja ^^

      Hapus
  9. ceritannya membuat penasaran nih alur maju mundurnya tidak membingungkan, hanya penasaran mimpi dan sosok siapakah yang mengendap-endap itu

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.